M A K A L A H
Pendidikan Agama Islam
Hubungan Manusia dengan Agama
Oleh
:
Kelompok
3
Kelas
Akuntansi – C (sore)
Akhmad Desi
Arisandi 51402040000
Diana
Pitasari 51402040027
Dosen pembina : Muhammad Nizar
Fakultas Ekonomi
Program Studi
Akuntansi
UNIVERISTAS ISLAM MAJAPAHIT
2014/2015
KATA PENGANTAR
Marilah
kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat serta
hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Keberhasilan
ini tidak luput dari bantuan-bantuan berbagai pihak yang tidak hanya mengarahkan
tapi juga memberi dukungan, baik moral maupun material. Ucapan terimakasih kami
terutama kami sampaikan kepada:
Bapak Muhammad Nizar, selaku pembimbing mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam yang
telah bersedia memberikan keterangan-keterangannya.
Teman-teman yang
bersedia memberikan informasi tambahan untuk mendukung penulisan makalah ini.
Saya menyadari, makalah ini masih
jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan,
mengingat saya masih dalam proses belajar.
Oleh karena itu, saran dan kritik
yang sekiranya membangun senantiasa saya nantikan, agar makalah berikutnya
lebih baik lagi. Saya kira sekian, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung hati anda sekalian.
Mojokerto, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................... ii
BAB
1 PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar
Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
2.1 Konsep dan
Pengertian Manusia dalam Al-Qur’an.................................... 2
2.2 Fitrah
Manusia......................................................................................... 7
2.3 Tujuan
Penciptaan Manusia...................................................................... 12
2.4 Hubungan Manusia
dengan Agama........................................................... 13
BAB
III PENUTUPAN..................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan............................................................................................... 19
3.2 Saran........................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia, Agama dan Islam merupakan masalah yang
sangat penting, karena ketiganya mempunyai pengaruh besar dalam pembinaan
generasi yang akan datang, yang tetap beriman kepada Allah dan tetap berpegang
pada nila-nilai spiritual yang sesuai dengan agama- agama samawi (agama yang
datang dari langit atau agama wahyu). Agama merupakan sarana yang menjamin
kelapangan dada dalam individu dan menumbuhkan ketenangan hati pemeluknya.
Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan,
kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan
membuat hati manusia menjadi jernih, halus dan suci. Disamping itu, agama juga
merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi berbagai
aliran sesat. Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah dan
akhlak dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang
individu-individunya terikat oleh rasa persaudaraan, cinta kasih dan tolong
menolong.
Islam dengan berbagai ketentuannya dapat menjamin
bagi orang yang melaksanakan hukum-hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep manusia di dalam Al-Quran?
2. Kenapa manusia perlu beragama?
3. Apakah
tujuan dari penciptaan manusia?
4. Apa hubungan manusia dengan agama?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Pengertian Manusia dalam Al Quran
Manusia
merupakan mahluk hidup yang paling sulit dimengerti meskipun oleh dirinya
sendiri. Manusia adalah mahluk yang tidak bisa ditebak, namun rasional. Manusia
juga memiliki fisik yang baik seperti halnya mahluk hidup lainnya. Manusia juga
memiliki akal sehingga dia dapat menciptakan hal-hal yang luar biasa meskipun
secara fisik dia tidak mampu melakukannya. Manusia melakukan hal-hal hebat
dengan bantuan mesin-mesin yang dibuatnya. Dengan begitu, manusia bukanlah
hewan, tapi mirip dengan hewan karena punya akal dan perasaan. Sehingga manusia
tidak memiliki konsep definisi yang jelas akan dirinya.
Dalam Al
Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Dari ayat-ayat yang
berkenaan dengan manusia, Al-Qur’an menyebut manusia dalam beberapa nama, berikut
adalah penjelasannya :
a.
Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan
kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun
Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah
yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.Kata
basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam
bentuk mutsanna.
Berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah
prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan
makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase
perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur’an, yaitu:
1.
Prenatal
(sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan
sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. Al
Mu’minuun: 12-14)
Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah.
|
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ
مِّن طِينٖ ١٢
|
12
|
Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim).
|
ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ
نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣
|
13
|
Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta
Yang Paling Baik.
|
ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ
فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا
ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ
أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
|
14
|
2.
Post natal (sesudah lahir) proses
perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut sebagaimana dalam surat
Al Mu’min: 67:
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ
يُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡ ثُمَّ لِتَكُونُواْ
شُيُوخٗاۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوٓاْ أَجَلٗا
مُّسَمّٗى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦٧
Artinya: Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu
dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian
(dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).
Secara sederhana,
Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang
tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata
lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya,
mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada
di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun,
menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu
semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam
konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran
manusia sebagai makhluk biologis.Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi
kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya.Yakni dalam memenuhi
kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
b.
Konsep
Al-Insan
Kata insan bila dilihat
asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin.Atas dasar ini,
kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia
dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal
yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta
dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk
dididik.
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong
manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya,
manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu
pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.Kemudian melalui kemampuan
berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai
bidang.Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya
dan berperadaban.
c.
Konsep Al-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24).Tentunya sebagai
makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia
harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri.Karena manusia tidak
bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang
bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang
menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia
ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling
menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep
an-naas.
d.
Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau
keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal
keturunannya. Dalam Al-Qur’an
istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.
Penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini
setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya
sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna
manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan
terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.Ketiga,
memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan
mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan
Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain.
Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh
adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam
konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak
ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan
hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta.Sebagaimana yang diutarakan dalam QS.
Al-Hujarat: 13):
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
e.
Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali,
masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin
(2003: 28) memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur. Lebih
lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia
adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak
tampak.
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam
al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”,
merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan
kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep
al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas.
bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di
alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan.Sedangkan manusia jelas
dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
f.
Konsep Abdu Allah (Hamba Allah)
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi
berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah.Selain
itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri.
Menurut M. Quraish memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru
dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.
Menyadari
bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah
kekuasaan Allah.
2.
Menjadikan
segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3.
Dalam
mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan
hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah.Yaitu dengan menta’ati
segala aturan-aturan Allah.
Sehingga dalam berbagai konsep tersebut manusia merupakan
mahluk hidup yang perlu diberikan suatu tempat sendiri karena dia merupakan
mahluk hidup yang istimewa karena selain memiliki fisik, manusia memiliki akal,
bersosialisasi, dan teratur. Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang paling
sempurna karena selain memiliki unsur fisik manusia memiliki akal yang
membedakan dengan mahluk hidup lain.
2.2 Fitrah Manusia
Dalam setiap diri manusia selalu ada pertanyaan yang
selalu muncul dalam dirinya yaitu “dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi
ketika saya sudah mati?”.
Pertanyaan-pertanyaan ini yang mengakibatkan manusia selalu mencari jawabannya.
Mencari jawaban dan selalu ingin tahu merupakan fitrah manusia yaitu hal yang
sudah ada dan berdasar di dalam hidup manusia. Para ahli teologi Islam
mengatakan bahwa fitrah adalah satu hal yang dibekalkan Allah kepada setiap
manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri adalah tidak
dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial
dan masa, dan tidak akan pernah hilang. Hal-hal dasar yang mengakibatkan
manusia sering mencari disebabkan karena menurut Al-Qur’an manusia terdiri
atas:
1.
Ruh
dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal
dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan
jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para
ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung
kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada
dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka
setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri
manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji,
maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn
Sina dan al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa
hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari
segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya
makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal
yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi
daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah).
Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi
manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan
yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya
memiliki jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada
manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai
dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat
kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah,
"Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka
ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan
keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan
oleh-Nya:
"Dan Aku bersumpah dengan
jiwa yang selalu mencela." (QS.
75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela,
maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini
Allah menegaskan,
"Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi
tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada
sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan
dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu
berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa
mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan,
"Demi jiwa serta
kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa
terletak pada perjuangan baik dan buruk.
2.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek
(intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak,
sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir
yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut
rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal
(ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati
(rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi
akal perolehan (akal mustafad) ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha
memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam
kebahagiaan (Jannah). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan
kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak
mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur.
Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut
para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan
memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ketingkat akal
perolehan.
3.
Hati (Al-Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya
terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati
adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada sebelah
kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal
itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati
binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus,
hati-nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga
dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman,
"Mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa
menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir
(nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai
kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui
pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan
hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber
ma'rifat suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan
jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase
moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral
yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang
kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati,
sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai
kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab
penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini
saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang
abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan
justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil
perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan
firman Allah yang artinya,
"Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang
mengotorinya."
(QS. 91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan
gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak
bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta
keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi
para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang,
tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi
dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang
berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan
menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah
adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan
beribadat, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati
atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati
dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa
nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan
hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
Karenanya manusia memerlukan Agama sebagai jawaban atas ketidaktahuannya
dan keingintahuannya atas dirinya sendiri dan tujuan hidupnya. Agama dalam hal
ini Agama Islam diharapkan manusia berhasil memenuhi kebutuhannya dan menaati
Agama Islam, sesuai dengan firman Allah Surat Ar-Rum: “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
sesuai dngan fitrah itu”. (QS.Al-Rum: 30).
2.3 Tujuan Penciptaan Manusia
Ajaran Islam memperkenalkan
manusia dengan menjelaskan fungsinya di dunia ini. Manusia diciptakan di dunia
ini adalah:
1.
Untuk menyembah kepada-Nya berdasarkan Firman Allah
Q.S. Adz Dzaariyaat: 56: “dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
Menyembah Allah SWT. Berarti memusatkan penyembahan
kepada semata-mata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali
kepada-Nya saja.
2.
Khalifah Allah di bumi. Manusia adalah
makhluk yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban
memakmurkannya sebagai amanah dari
Allah SWT. Berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al an’am 165:
“dan Dia lah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.4 Hubungan Manusia dengan Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta,
āgama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja
re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Menurut agama Islam, manusia
diciptakan di bumi untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, manusia diciptakan
di bumi sebagai khalifah atau pemimpin di bumi. Dengan perannya tersebut,
manusia diharapkan untuk:
1.
Sadar sebagai mahluk individu yaitu
mahluk hidup yang berfungsi sebagai mahluk yang paling utama di antara
mahluk-mahluk lain. Sebagai mahluk utama di muka bumi, manusia diingatkan
perannya sebagai khaifah dibumi dan mahluk yang diberi derajat lebih daripada
mahluk lain yang ada di bumi. Sesuai dengan firman Allah:
“Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam dan Kami angkat mereka itu
melalui daratan dan lautan serta Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka atas kebanyakan mahluk yang kami ciptakan (Q.S.
Al-Isra: 70)
2.
Sadar bahwa manusia adalah mahluk sosial.
Sebagai mahluk sosial, manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan
sesamanya. Itulah sebabnya Islam mengajarkan perasamaan
“Berpeganglah
kamu semuanya dalam tali Allah dan janganlah kamu berpecah belah…” (Q.S. Ali
Imran: 103)
“Sesungguhnya
semua orang mukmin adalah bersaudara.”(Q.S. Al Hujarat: 10)
3.
Sadar manusia adalah hamba Allah SWT.
Manusia sebagai mahluk yang berketuhanan, memiliki sikap dan watak religius
yang perlu dikembangkan. Manusia harus selalu beribadah keapada Allah karena
merupakan tugasnya untuk beribadah kepada Allah sesauai dengan firman Allah:
“(Yang
memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain Dia,
pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala
sesuatu, Dia tidak dapat dijangkau oleh daya penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Mengetahui.”(Q.S. Al
An’aam: 102
Untuk
menjalankan tujuan-tujuan tersebut, dalam hal ini Agama Islam, mengajarkan 3
hal yang merupakan dasar dari agama yaitu:
1.
Aqidah
Beberapa
ulama Islam juga menafsirkan tentang aqidah. Hasan al-Banna dalam Majmu’
ar-Rasaail menafsirkan bahwa:
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)
adalah beberapa perkara yang wajib diyakini dalam hati, mendatangkan
ketentraman jiwa dan tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.”
Abu
Bakar Al-jazairi dalam kitab Aqidah Al-Mukmin menafsirkan bahwa:
“Aqidah merupakan sejumlah
kebenarannya yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan akal,
wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati dan
ditolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu.”
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut maka aqiadah merupakan keyakinan dalam hati yang
benar-benar mantab dan tidak akan goyah walaupun banyak hal yang berusaha
menentang hal tersebut. Aqidah atau sistem aqidah merupakan sistem keyakinan
yang sering disebut rukun iman yaitu:
·
Iman kepada Allah
·
Iman
kepada malaikat dan mahluk gaib lainnya
·
Iman kepada kitab-kitab Allah
·
Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
·
Iman kepada Hari Kiamat
·
Iman kepada Qada dan Qadar
Aqidah
merupakan suatu keyakinan yang harus dimiliki setiap mukmin dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari. Keyakinan tersebut membuat mukmin makin mudah
menjalankan ibadah dalam kehidupan sehari-harinya
2.
Syariat
Syari’at
bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang
didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang
ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian
kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan
untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata
“syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini
Allah berfirman,
“Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi
Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan
yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan)
tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa
anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami
liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum
ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan
Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar
dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga
menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini
berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani
sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana
bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya,
syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah
swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk
segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan
dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang
berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman
kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada
hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar
baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang
mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti
kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang
berdusta dan berkhianat.
Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu
Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak
diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat,
puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu
Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
3.
Ahlak
Akhlak secara terminologi
berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar
untuk melakukan suatu perbuatan
yang baik.
Akhlak
merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab
yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tiga
pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih,
Al Gazali,
dan Ahmad Amin
menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang
dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih
dahulu.
Ahlak-ahlak yang baik
adalah:
·
Jujur (Ash-Shidqu)
·
Berprilaku baik (Husnul Khuluqi)
·
Malu (Al-Haya')
·
Rendah hati (At-Tawadlu')
·
Murah hati (Al-Hilmu)
·
Sabar (Ash-Shobr)
Sedangkan
ahlak-ahlak yang buruk adalah:
·
Mencuri/mengambil bukan haknya
·
Iri hati
·
Membicarakan kejelekan orang lain
(bergosip)
·
Membunuh
·
Segala bentuk tindakan yang
tercela dan merugikan orang lain (mahluk lain)
Dasar-dasar Islam diatas telah menerangkan dan mengatur tentang bagaimana
manusia melaksanakan kewajibannya di muka bumi. Agama dalam hal ini agama
Islam, merupakan suatu pengatur kehidupan yang harus dijalankan setiap
pemeluknya agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya di muka bumi ini dengan baik.
Sehingga, hubungan antara manusia dan agama sebagai pengatur kehidupannya
diharapakan menjadikan manusia menjadi manusia yang lebih baik bagi sesamanya, bagi alam sekitarnya dan bagi
dirinya sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Yaitu Konsep Al-Basyr, Konsep Al-Insan, Konsep Al-Nas,
Konsep Bani Adam, Konsep Al-Ins, Konsep Abdu Allah (Hamba Allah). Manusia
merupakan mahluk Tuhan yang paling sempurna karena manusia memiliki segala
unsur dari mahluk hidup lainnya ditambah dengan akal pikiran.
Manusia membutuhkan agama karena hal tersebut merupakan fitrah manusia.
Fitrah tersebutlah yang menyebabkan manusia berhubungan dengan agama untuk
mencari jati dirinya.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah dan menjadi khalifah
fil ardi.
Agama memiliki tujuan untuk menjadikan manusia melakasankan segala peran
yang diperintahkan Allah. Sehingga
agama mengatur segala sendi kehidupan manusia dan dapat dikatakan agama
merupakan pengatur manusia untuk menjalankan perannya di muka bumi.
3.2 Saran
Perlu dilakukan telaah lebih lanjut mengenai
hubungan manusia dengan agama baik secara aqli maupun naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Jakarta: Reality Publisher.
Anonim, 2011. Konsep
Manusia dalam Al Quran
Arifin.
2008. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT.
Bumi Aksara
Azra,
Prof. Dr. Asyurmudi, dkk. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi dan Umum. Jakarta : Departemen Agama RI
http://ramdhangaduhrara.blogspot.com/ramdhan gaduh rara: hubungan manusia dengan agama (diakses tanggal 11 Oktober 2012)
Mubarak,
Zakky, dkk. 2008. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia,
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI.
Wahyudin,2009.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Grasindo.
bisa minta emailnya kak? mau sharing
BalasHapus