M A K A L A H
SKI
Tentang Imam Syafi’i
Disusun
Oleh :
.............................................
Kelas
VIII
SMP
....................
Tahun Pelajaran
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan
saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Mojokerto, 2
Desember 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Mengenal
Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Rahimahullahu 2
a. Silsilah
dan Kelahiran Imam Syafi’i 2
b. Sewaktu
Imam Syafi’i dalam Kandungan 2
c. Pada
hari Imam Syafi’i Lahir 3
d. Perjalanan
Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu 3
e. Guru
Imam Syafi’I 4
f. Kitab-Kitab
Karangan Imam Syafi’i 5
g. Wafatnya
Imam Syafi’i 5
B. Sejarah
Munculnya Madzhab Syafi’i 5
a. Periode
Pertama 6
b. Periode
Kedua 6
c. Periode
Ketiga 6
D. Cara-Cara
Ijtihad Imam Syafi’i 7
E. Qaul
Qadim dan Qaul Jadid 8
BAB
II PENUTUP 10
A. Kesimpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR
PUSTAKA 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu
kajian penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at
Islam, asas tasyri’ dalam al Qur'an, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para
sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik
dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Sehingga
munculah istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan
pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di
dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan
menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan
pembahasan dalam memahami fiqih Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan
metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqih, periodisasi
perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab fiqih.
Namun dalam makalah ini akan lebih difokuskan terhadap pembahasan perkembangan
tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami
makalah ini, kami mencoba merumuskan bebarapa topik atau masalah seputar perkembangan
tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah Biografi
Imam Syafi’i Rahimahullahu?
2.
Bagaimanakah Sejarah
Munculnya Madzhab Syafi’i?
3.
Kapan Saja Periode
Fiqih Imam Syafi’i?
4.
Bagaimana Cara Ijtihad
Imam Syafi’i?
5.
Apa Saja Pendapat Imam
Syafi’i Mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Mengenal
Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Rahimahullahu
Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “sesungguhnya Allah telah
mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan
sunnah dan akan menyingkirkan pendusta terhadap Nabi Muhammad SAW. Kami
berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul
Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan Imam Syafi’i.”
a. Silsilah
dan Kelahiran Imam Syafi’i
Beliau
bernama Muhammad bin Idris. Gelar beliau abu abdillah. Orang Arab dalam
menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga nama beliau
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan nasab
Rasulullah SAW pada diri Abdu Manaf (suku Quraisy). Nasab beliau dari
ayahandanya ialah bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu
Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Sedangkan dari ibunya ialah
binti Fathimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dari
silsilah tersebut, jelaslah bahwa Imam Syafi’i masih keturunan dari Nabi
Muhammad SAW.
Beliau
dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Ibunya
keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik
beliau. Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian.
Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah agar dapat hidup bersama orang-orang
Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi.
Sejarah
telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i,
yaitu:
b. Sewaktu
Imam Syafi’i dalam Kandungan
Ibunya
bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnys dan terus naik
membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan menerangi
daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan
seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.
c. Pada
hari Imam Syafi’i Lahir
Ada
dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di Baghdad yaitu Imam Abu
Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky. Dengan peristiwa
tersebut, orang-orang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan bahwa ini suatu
pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam
kemahiran dalam urusan pengetahuan.
d. Perjalanan
Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
Pusat
ilmu pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak (Kuffah), Syam
dan Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu
pengetahuan khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan
anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar membaca al Qur’an
kepada Ismail bin Qusthanthein dan dalam usia 9 tahun beliau telah dapat
menghafal al Qu’an 30 juz.
Imam
Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab klasik, sehingga
sewaktu-waktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah
Hudzail, dan lain-lain. Terkadang beliau tinggal lama di kabilah tersebut untuk
mempelajari sastra Arab, sehingga akhirnya Imam Syafi’i mahir dalam
kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari Imrun al Qais, syair
Zuheir dan Syair Djarir.
Beliau
di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az Zanniy,
seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam usia 10 tahun
beliau mampu menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu kitab al
Muwatha’. Karena kepandaiannya, dalam usia 15 tahun beliau diberi izin oleh
gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram tentang hukum-hukum yang
bersangkutan dengan agama. Beliau juga belajar ilmu hadits kepada Imam
Sufyan bin Uyainah.
Setelah
beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah untuk belajar
kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan
diri untuk pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan penduduk dan juga pergi
ke Makkah untuk bertemu dengan ibunya untuk meminta nasihat. Dengan belajar
ilmu pengetahuan kepada Imam Malik, beliau mendapat banyak kenalan dari
ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
Setalah
2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kuffah dan Baghdad), dimana
beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli fiqih dan ahli hadits yang
berada di Irak.
Sampai
di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu
guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam Syafi’i sering bertukar
fikiran dan diberi pengetahuan tentang agama oleh beliau berdua. Dalam
kesempatan ini, Imam Syafi’i dapat mengetahui cara-cara atau aliran fiqih dalam
madzhab Hanafi yang agak jauh bedanya dengan cara-cara atau aliran fiqih dalam
madzhab Maliki. Imam Syafi’i ketika itu dapat mendalami dan menganalisa
cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Beliau
tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke Persi, Anadholi (Turki),
dan ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau banyak menjumpai ulama’
baik Tabi’in maupun Tabi’-tabi’in. Pada kesempatan ini beliau mengetahui adat
bangsa-bangsa selain bangsa Arab, hal ini nantinya membantu beliau dalam
membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i.
Sesudah
2 tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada guru
besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam
Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i
sudah melebihi ilmunya. Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk
memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran
Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas
dasar madzhab sendiri.
e. Guru
Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”. Maka sebab itu
bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu pengetahuan kepada
orang-orang yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu yang sedang
dituntutnya.
Di
antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di Makkah, yaitu Imam
Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan bin Uyainah; dan
ketika di Madinah, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak hanya berguru kepada
para ulama’ di kota Makkah dan Madinah, tetapi juga berguru kepada ulama di
negeri lainnya.
Demikian
banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu,
bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut nama-nama ulama’ yang pernah
menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab “Musnad Imam Asy Syafi’i”.
f. Kitab-Kitab
Karangan Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau adalah seorang
pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam. Adapun kitab-kitab
karangan beliau yang paling masyhur menurut riwayat yang hingga kini masih
tercatat adalah sebagai berikut:
a) Kitab
Ar Risalah
Kitab
ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i mengarang
dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al
Qur’an dan Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’ dan Qiyas. Kitab
ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady.
b) Kitab
Al Umm
Kitab
ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini menunjukkan kealiman
dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena susunan kalimatnya yang tinggi
dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji kalau dipergunakan untuk bertukar
fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqih. Tepatlah kalau kitab ini
dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang sebenarnya.
g. Wafatnya
Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid
Imam Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i
Rahimahullahu berpulang kerahmatullah sesudah menunaikan ibadah shalat maghrib,
petang Kamis malam Jumat, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari
Jumat. Sorenya kami lihat hilal bulan Sya’ban 204”.
B.
Sejarah
Munculnya Madzhab Syafi’i
Abu
Abdullah Muhammad bin Idris asy Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya
begitu dalam dan tajam serta mendapatkan izin dari gurunya yaitu Imam Maliki
untuk memberi fatwa dalam fiqih sesuai dengan dasar madzhabnya sendiri, beliau
mulai berijtihad dalam menentukan hukum Islam terlepas dari fatwa-fatwa gurunya
baik Imam Maliki maupun Imam Hambali.
Perlu
diketahui bahwa Imam Syafi’i sebelum melawat ke Irak adalah termasuk salah
seorang ulama’ pengikut madzhab Maliki karena beliau banyak mendapatkan ilmu
pengetahuan dari Imam Maliki. Beliau mengajarkan kitab al
Muwatha’ karangan Imam Maliki kepada para ulama’ yang datang berkunjung
dari luar Madinah. Dan setelah beliau melawat ke Irak, beliau mengajarkan
kitab al Ausath karangan Imam Hanafi serta mempelajari aliran
madzhabnya.
Setelah
beliau melawat ke Irak, beliau menemui beberapa peristiwa yang baru. Kemudian
beliau menyesuaikan pendapat-pendapatnya mengenai hukum dengan beberapa
peristiwa baru tersebut. Setelah sekitar 2 tahun di Irak, beliau melawat ke
Mesir dan menetap disana, lalu timbul pula daripadanya beberapa perubahan dari
pendapat-pendapatnya yang lama ketika di Irak. Kemudiian beliau menyesuaikan
pendapatnya dengan beberapa peristiwa yang baru yang ada di Mesir.
Pada
umumnya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, para penduduk di kala itu
merupakan pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah beliau
mengajarkan pendapatnya yang baru di masjid Amr bin Ash, maka mulai
berkembanglah aliran madzhab beliau di Mesir.
Jadi
pada mulanya berkembangnya madzhab Syafi’i ialah di Mesir. Kemudian berkembang
pula di Irak dan mendapat kemajuan di Baghdad.
C.
Periode
Fiqih Imam Syafi’i
a. Periode
Pertama
Makkah
adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah
meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota
Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu
pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan
mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu
dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu
pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut
bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi
ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di
Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana
kedudukan hadits di sisi al-Qur’an kitab
ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia
susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
b. Periode
Kedua
Imam
Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama
kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi
berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat
dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan
pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i
memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
c. Periode
Ketiga
Imam
Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun
199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam
Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai
sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan
dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki bebeerapa ingkatan: pertama, al-qur’an
dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila
yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat
salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat, sesuatu
yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas.
Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada
al-qur’an dan hadits.
D.
Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam
Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun
langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut :
a. Dhahir-dhahir
Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan
dhahirnya.
b. Sunnatur
Rasul
As-Syafi’i
mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan
bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada
itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau
menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
c. Ijma’
menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan pada hukum
yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi
persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
d. Qiyas,
beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah.
Metodologi
ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada
Qiyas saja.
e. Istdlal.
As-Syafi’i
dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqih ulama Iraq dan beliau
terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan
hujjahnya.
E.
Qaul
Qadim dan Qaul Jadid
Ahmad Amin (II, t.th:231) menjelaskan
bahwa ulama membagi pendapat as-syafi’i menjadi dua: qaul qadim dan qaul
jadid. Qaul qadimadalah pendapat as-syafi’i yang dikemukakan dan di tulis
di Irak. Sedangkanqaul jadid adalah pendapat imam as-syafi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa
pada tahun 195 H, Imam Syafi’i tinggal di irak pada zaman pemerintahan al-Amin.
Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat Ulama Irak
yang termasuk ahlu ra’yi. Di antara ulama irak yang banyak mengambil pendapat
Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad Ibn Hanbal, al-Karabisi,
al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i
melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana . di Mesir, ia bertemu
dengan (dan berguru kepada ) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik.
Imam Malik adalah penurus fikih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahli
hadits . karena perjalanan intelektualnya itu, imam as-Syafi’i mengubah
beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian, qaul
qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid
adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan
qaul jadid adalah karena imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan
fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang tergolong ahlu hadits.ada yang
mengatakan bahwa pendapat imam Syafi’i yang didektekan dan ditulis di Irak
disebut qaul qadim.
Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya
qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh imam
Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia
temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz . dan diantara pendapat qaul jadid
ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib
wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang wudhunya tidak tertib
karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa
orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa adalah tidak sah.
Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul qadim mengatakan
bahwa seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul
jadid mengatakan bahwa seseorang tidak dibolehkan tayamum
dengan pasir.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Imam
Syafi’i merupakan salah satu dari keempat imam madzhab yang termasyhur. Beliau
adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki
kecerdasan yang luar biasa sehingga banyak gelar dari para ulama lain untuknya.
Kiprah Imam
Syafi’i yang cemerlang berakhir dengan wafatnya tetapi ilmunya takkan pernah
habis dimakan waktu. Cinta manusia terhadanya, ilmu dan karya-karyanya masih
tetap memenuhi bumi sampai sekarang. Tidak satu pun dijumpai ulama besar
kecuali berhutang kepada Imam Syafi’i.
B.
Saran
Demikianlah yang
dapat penulis paparkan sedikit tentang biografi Imam Asy-Syafi’i. Setelah
mengetahuinya, moga menjadikan ghirrah kepada kita
sebagai Thalabul Ilmi untuk dijadikan contoh dalam hidup kita dalam
mensejahterakan seluruh ummat Islam, terkhusus bagi kesejahteraan Negara
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i,
(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972).
Al-Fayyumi, Ibrahim, Muhammad, Imam Syafi’i Pelopor fikih dan Sastra, (Jakarta:
Erlangga), 2009.
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh
Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam), (
Jakarta: AMZAH, 2009).
Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,(Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 2000).
Ash Shiddiqiey, Muhammad Hasbi
Teungku, Pengantar Hukum Islam, (Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997).
Jika Anda ingin format asli, silahkan download di link ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar